“Maaf. Tapi kita harus putus. It’s just… we love each other but we keep
hurting each other. I’m sorry. Thank
you”.
Itulah kalimat terakhirku pada
Alice, perempuan yang sudah kukencani selama empat bulan terakhir. Dia sangat
menyayangiku dan selalu berusaha memberikan semua yang kuinginkan. Namun
lama-lama aku muak karena dia membosankan. Rasanya tidak menyenangkan jika aku
bisa mendapatkan segalanya. Apalagi jika dia tergila-gila padaku seperti itu.
Saat putus denganku, Alice tidak
mengatakan apapun. Ia hanya tertunduk sambil menangis. Sesekali aku
mendengarnya sesenggukan. Aku meninggalkannya sendirian di rumahnya malam itu.
Satu bulan kemudian…
Aku bangun pagi seperti biasa.
Menyeduh secangkir kopi sambil memeriksa email dari kantor.
“Tsk. Dasar bos cerewet,”
gerutuku.
Aku segera mengirimkan proposal
yang dimintanya melalui email lalu membuka situs berita. Setelah membaca
beberapa artikel berita, aku beranjak dari kursi dan bersiap untuk berangkat ke
kantor.
Rutinitas di kantor membosankan
seperti biasa. Bosku marah pada setiap kesalahan kecil dan teman-teman kantorku
semuanya sibuk dengan tumpukkan pekerjaan masing-masing. Aku bisa mendengar
gerutu beberapa teman kantorku. Beberapa bahkan diam-diam mengutuk bosku.
Setelah 8 jam bertahan di kantor,
akhirnya aku bisa pulang ke rumah. Aku berhenti sejenak di depan pintu rumahku
dan memandangi kotak di atas keset. Aku melihat namaku selaku penerima namun
aku tidak melihat nama pengirimnya. Aku membawa paket tersebut masuk dan
meletakkannya di atas meja tulis.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur.
Aku melirik paket yang duduk manis menunggu untuk dibuka.
“Siapa yang mengirimi paket
untukku?”
Rasa penasaran mengalahkan
lelahku. Aku beranjak ke meja tulis dan membuka paket tersebut. Ada sebuah
dompet di dalamnya. Mataku terbelalak saat melihat dompet tersebut.
“Ini kan dompet yang aku incar.
Wah… siapa yang berbaik hati mengirimiku dompet ini?” pikirku sambil mengecek
dompet tersebut. Bau kulit yang khas dan desain minimalisnya membuatku jatuh
cinta pada pandangan pertama. Aku sempat berpikir untuk membelinya saat
menjelang Natal karena biasanya toko yang menjual merk ini mengadakan diskon
besar-besaran. Tapi setelah menerima paket ini aku jadi tidak perlu menambah
pengeluaran menjelang Natal.
Aku merasa sangat senang karena
bisa mendapat dompet yang kuinginkan secara gratis. Aku berterima kasih pada
siapa pun yang mengirim paket itu.
Minggu berikutnya aku menerima
paket lagi. Seperti sebelumnya, paket tersebut diletakkan di keset depan
rumahku dan tidak ada nama pengirim. Hanya ada penerima, yaitu aku. Aku
mengambil paket tersebut dan membawanya ke kamar. Aku penasaran apa isi paket
kali ini. Saat aku membukanya ternyata isinya tas ransel yang sempat aku lihat
sewaktu pergi liburan ke luar kota.
“Wow. Tas ini kan harganya sangat
mahal. Siapa pun yang mengirim tas ini, terima kasih banyak,” aku bersyukur
sambil mendekap tas tersebut. Bau kulit dari tas tersebut memberi kepuasan
tersendiri bagiku. Aku meletakkan tas tersebut di meja dan berencana
menggunakannya besok saat ke kantor.
Keesokan harinya…
“Wah. Itu kan tas yang kita lihat
waktu lagi tugas ke luar kota. Akhirnya kamu beli tas itu?” tanya salah satu
kolegaku.
“Tampaknya aku punya penggemar
rahasia yang mau mengeluarkan uang untuk membelikanku hadiah ini,” aku
tersenyum puas.
Ia mengerenyitkan dahi. “Apa itu
tidak mengerikan?”
“Apanya?”
“Penggemar rahasia yang tahu apa
yang kamu inginkan. Bukankah itu seperti stalker?”
ia mengangkat bahu.
Aku terdiam. Iya juga. Kalau
dipikir-pikir… tidak ada yang tahu bahwa aku menginginkan tas ini karena aku
tidak mengatakannya pada siapa pun. Tapi bagaimana pengirim paket bisa tahu
persis tentang tas yang aku inginkan? Aku merinding dan berpikir untuk tidak
menggunakan tas ini sementara waktu.
Saat perjalanan pulang aku sempat
terpikir untuk membeli salad dan ayam panggang untuk makan malam. Namun
kuurungkan karena aku masih punya roti kacang merah yang kubeli saat makan
siang. Sesampainya di rumah, ada paket lain di depan pintu rumahku. Aku melihat
ke sekeliling namun tidak ada orang. Dengan perasaan was-was, aku mengambil
paket tersebut dan membawanya masuk. Kali ini ukuran paketnya lebih kecil dan
dibungkus dengan paper bag. Dengan
gugup aku membuka paper bag tersebut.
Nafasku tercekat. Isi paket tersebut adalah salad dan ayam panggang favoritku.
“Okay. This is way too creepy. Not funny at all”. Aku membuang paper bag tersebut beserta isinya ke
tempat sampah.
“Tidak masuk akal. Aku pasti
berhalusinasi,” aku berusaha menenangkan diri. Tidak mungkin ada yang tahu soal
makan malam yang aku inginkan. Malam itu aku melewatkan makan malam dan
bersembunyi di balik selimut hingga tertidur.
Minggu berikutnya aku menerima
paket lagi. Isinya adalah jam tangan yang rencananya akan aku beli saat gajian.
Selanjutnya aku menerima paket yang berisi jaket yang aku lihat online. Minggu berikutnya aku menerima
paket lagi dan isinya adalah novel misteri dengan tanda tangan penulisnya.
Aku mulai paranoid. Tiba-tiba aku
teringat Alice. Aku yakin dia yang melakukan semua ini! Selama ini dia selalu
membelikanku barang yang aku inginkan. Ini pasti ulahnya!
Aku segera berlari ke kantor
polisi terdekat. Polisi mempersilakan aku duduk. Aku berusaha mengatur nafasku
yang masih terengah-engah setelah berlari cukup jauh. Setelah aku tenang,
polisi mulai bertanya padaku.
“Ada yang bisa dibantu, pak?”
seorang polisi bertanya padaku.
“Namaku Lucas. Aku rasa aku
dikuntit oleh mantan pacarku. Dia mengirimiku paket setiap minggu. Awalnya aku
senang mendapat barang-barang yang kuinginkan. Tapi lama-lama aku risih karena
aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun soal barang yang aku inginkan,”
jawabku sambil masih berusaha mengendalikan nafasku.
Polisi mulai mengetik laporan di
komputer kerjanya. “Baiklah. Siapa nama mantan pacarmu yang kau curigai ini?”
“Alice. Alice Lucia Zhang”.
Polisi tersebut saling melihat
dengan koleganya. Polisi tersebut menaikkan alis. “Sejak kapan kau menerima
paket-paket ini?”
Aku berusaha mengingat-ingat.
“Aku sudah menerima paket selama lima minggu. Jadi sudah lebih dari sebulan”.
Kedua polisi tersebut kembali saling menatap satu sama lain.
“Pak Lucas, saya rasa Anda
semestinya pergi ke psikiater bukan kantor polisi”.
Aku mengerenyitkan dahi.
“Maksudnya?”
“Alice Lucia Zhang sudah
meninggal sejak tiga bulan lalu. Anda yakin dia yang mengirimi Anda paket?”
Dunia seakan runtuh. Alice? Sudah
meninggal? Tidak mungkin. Aku baru memutuskan hubunganku dengannya dua bulan
lalu. Tidak mungkin dia sudah meninggal tiga bulan lalu. Tanpa disadari, air
mata keluar dari sudut mataku. Aku menangis histeris di kantor polisi. Para
petugas yang lain menghampiri karena penasaran. Mereka semua memandangiku
dengan penuh iba. Aku menangis sekeras-kerasnya saat menyadari bahwa Alice
sudah tidak ada.
Tiga bulan yang lalu…
“Lucas,” Alice memanggil nama
kekasihnya dengan lembut.
Lucas menengadah. “Alice”.
Gadis itu meremas jemarinya. “Apa
yang ingin kau bicarakan?”
Lucas menghela napas. “Maaf. Tapi
kita harus putus. It’s just… we love each
other but we keep hurting each other. I’m
sorry. Thank you”.
Itulah kalimat terakhirnya pada
Alice, perempuan yang sudah dikencaninya selama empat bulan terakhir.
Alice terkejut. “Eh? Kenapa? Apa
aku ada salah padamu?”
Lucas menggeleng pelan. “Tidak.
Aku hanya merasa kita tidak cocok. Terima kasih atas semuanya.” Ia beranjak
dari sofa. Gadis itu memegang lengannya.
“Lucas… Tolong jelaskan. Ada apa
sebenarnya?”
Lelaki itu menarik tangannya
dengan kasar hingga membuat perempuan itu terkejut. “Aku muak. Kamu
membosankan,” jawabnya ketus sambil berjalan ke arah pintu keluar. Alice tidak
mengatakan apapun. Ia hanya tertunduk sambil menangis.
Seminggu kemudian terdengar kabar
bahwa Alice bunuh diri dengan melompat dari lantai 16 kantor tempatnya bekerja.
Semua orang di penjuru kota mengetahui kabar tersebut termasuk Lucas. Dalam
surat terakhir yang ditinggalkan gadis itu, ia mengatakan betapa ia sangat mencintai
Lucas. Lucas mengurung diri di rumah selama tiga minggu. Selama itu pula ia
menangis dan menyesali perbuatannya pada Alice. Jika saja ia tidak memutuskan
Alice, gadis itu pasti masih hidup dan sedang membuatkan makan malam untuknya.
Semua penyesalan datang menghantui Lucas. Tanpa sadar, Lucas mulai
berhalusinasi.
Setiap minggu ia membeli
barang-barang mahal yang ia inginkan dan membungkusnya sebagai paket. Ia
mengirimkan paket-paket tersebut melalui pos ke alamat rumahnya dan mengatur
agar ia menerimanya setiap hari Senin. Ia bertingkah seolah-olah ada yang
mengiriminya paket setiap minggu. Ya. Ia berhalusinasi bahwa Alice yang mengirim
semua paket itu.
Akhirnya ia tersadar bahwa Alice
telah tiada. Ia menangis dan berteriak histeris.
“ALICEEEEE!!!” raungnya.
Semua polisi di sana hanya
menatapnya dalam diam. Mengasihani pria yang tengah berduka itu.
– The End –
Penyesalan selalu datang
terlambat. Ia tidak pernah menyangka bahwa dibalik rasa bosan yang dirasakannya
beberapa bulan lalu, sebenarnya ia mencintai Alice. Ia baru menyadari bahwa
Alice sangat sabar, pengertian, sangat sayang padanya dan benar-benar mempercayainya setelah gadis itu tiada.
Namun yang dilakukannya adalah menyakiti Alice hingga mendorong gadis tersebut
untuk bunuh diri.